Singaraja – Prof. Dr. I Wayan Lasmawan, M.Pd. sebagai salah satu Guru Besar Fakultas Hukum dan Ilmu Sosial Undiksha yang sekaligus menjabat sebagai Wakil Rektor II Undiksha didapuk menjadi Keynote Speaker dalam Webinar Nasional Seri II yang digelar oleh Jurusan Hukum dan Kewarganegaraan Undiksha, Kamis (18/3/2021) secara daring. Setelah sukses menggelar Webinar seri I dengan menghadirkan para Srikandi Hukum di Indonesia, Jurusan Hukum dan Kewarganegaraan Undiksha kembali menggelar Webinar Seri II dengan tema yang sama yakni “Wajah Hukum dan Pendidikan di Indonesia Tahun 2021”.
Lasmawan yang hadir sebagai Keynote Speaker memulai pemaparannya dengan menempatkan tema ini sebagai sesuatu yang membutuhkan pemikiran yang luar biasa dalam perspektifnya sebagai seorang akademisi. Sebelum melanjutkan ke materinya dimulai dengan menyampaikan 5 penciri Negara Hukum, sekaligus mengungkapkan bahwa apapun yang dilakukan dalam bernegara harus berdasarkan pada hukum. “Dalam perspektif saya, hukum itu adalah instrumen yang paling vital dalam membangun bangsa menuju peradaban yang adil yang mengedepankan azas keadilan. Namun, kenyataannya saat diterapkan di masyarakat akan memunculkan dinamika,” ujarnya.
Sebagai seorang akademisi, dalam kesempatan ini Lasmawan mengulas lebih banyak terkait wajah pendidikan di masa Pandemi. Dalam pandangannya, esensi praktek pendidikan adalah sebuah proses memanusiakan manusia dalam bingkai kemanusiaan itu sendiri. “Ini harus menjadi pondasi kita kalau kita berbicara tentang pendidikan,” ujarnya. Lebih lanjut ditambahkan, di tahun 2021 ini, proses pendidikan di Indonesia mulai bergerser prakteknya. “Yang dulunya di sekolah sekarang di rumah, bahkan bisa disimpulkan sementara, namun perlu kaijian lebih dalam, bahwa peran guru digantikan oleh orang tua. Dan juga, output wajah pendidikan masih digelayuti permasalahan, yang membutuhkan peran serta semua kalangan untuk mengurai persoalan itu,” tegasnya.
Pejabat kelahiran Bangli ini mengungkapkan bahwa sebelum pandemi, ada beberapa persoalan pada praktek pendidikan, seperti pemerataan akses yang belum merata di semua wilayah, ketersediaan SDM yang belum merata, alokasi pendanaan di bidang pendidikan masih kurang, dan sistem tata kelola pendidikan kita masih belum padu. Namun, semenjak Pandemi Covid-19 melanda Indonesia, beberapa persoalan baru juga muncul. “Di era Covid-19 ini, beberapa problema baru praktek pendidikan bermunculan. Sistem dan praktek pendidikan yang mengalami kedaruratan, meningkatnya angka putus sekolah dan problema baru praktek pendidikan seperti dalam proses PBM bahwa orang tua lebih sering menggantikan peran guru, terjadinya abrasi makna pendidikan, ditambah lagi keterbatasan fasilitas dan pendanaan,” ujarnya.
Untuk menghadapi problema inilah, beberapa saran diajukan oleh Prof. Lasmawan seperti upaya optimalisasi keadaan, fungsionalisasi lebih dari manajemen sekolah, keterujian masyarakat dalam mengenal praktek pendidikan, serta menerapkan new normal dalam praktek pendidikan. “Jika selama ini para orang tua lebih cenderung meletakkan tanggung jawab pendidikan pada sekolah dan pemerintah, maka sekarang dengan Covid-19 orang tua tahu betapa sulitnya menjadi guru, melayani anak dalam praktek pendidikan. Dan masyarakat kini semakin paham bagaimana sulitnya praktek pendidikan,” ungkapnya.
Sebelum mengakhiri materinya, Lasmawan menyampaikan catatan kecilnya terkait pendidikan di masa pandemi ini. “Di masa pandemi ini, motivasi belajar siswa menurun, jetlag para guru atas literasi teknologi dimana banyak guru yang kelabakan menggunakan teknologi Pendidikan Jarak Jauh, terdegradasinya hak pendidikan anak, progress capaian prestasi yang masih jauh dari smepurna karena situasi Pandemi yang menyandera praktek pendidikan serta pandemi menyebabkan carut marutnya praktek pendidikan,” tegasnya. Ia juga menambahkan, beranjak dari hal-hal ini akhirnya Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan telah mengimplementasikan 8 multi-layer kebijakan, yaitu Penerapan Pendidikan Jarak Jauh, Bantuan Kuota Internet, Bantuan UKT, kurikulum kedaduratan, asesmen pembelajaran di masa pandemi, PBM model tatanan kehidupan baru, diversifikasi penggunaan dana BOS, serta pelandaian admininistrasi dan birokrasi. Namun sayangnya, hal ini belum cukup maksimal dalam menjawab tantangan pendidikan di masa pandemi saat ini.
Dalam kesimpulanya, Lasmawan manyampaikan wajah pendidikan yang dilihat dari kacamata seorang akademisi. “Melihat Praktek pendidikan kita, dengan kesederhanaan dan keterbatasan saya menyimpulkan wajah pendidikan Indonesia di masa Pandemi ini, dari 3 aspek yaitu dari segi wajah yang masih baik-baik saja namun hanya sedikit ‘kuyu’, ekpresi wajah pendidikan yang cenderung pendiam karena imun menurun sebagaimana persoalan yang dihadapi cukup banyak, dan dari segi harapan yang masih terbuka namun hanya butuh sinergitas yang lebih padu antara orang tua, siswa, pemerintah dan guru,” ujarnya. Oleh karenanya, Lasmawan sebagai akademisi mengajak masyarakat untuk lebih bijak melihat obyek di sekitar tentang bagaimana kita memberikan nilai pada konteks penerapan hukum dan praktek pendidikan, untuk menyatukan tekad dan sinergi memperbaiki praktek pendidikan di tengah pandemic Covid-19. (hms)