Singaraja– Pelajaran bahasa daerah, khususnya bahasa Bali, kini cenderung dianggap sebagai sesuatu yang menakutkan, terutama oleh kalangan siswa. Sebagai bagian dari kebudayaan, eksistensi bahasa itu harus mampu terjaga. Bahkan harus ada pemajuan, terlebih di era milenial. Hal demikian menjadi perhatian serius Program Studi Pendidikan Bahasa Bali Fakultas Bahasa dan Seni Universitas Pendidikan Ganesha (Undiksha). Mengupas lebih dalam terkait strategi yang harus digulirkan untuk “penyelematannya”, dilaksanakan seminar akademik dengan menghadirkan Rektor Universitas Negeri Yogyakarta, Prof. Dr. Sutrisna Wibawa, M.Pd., sebagai narasumber, Selasa (29/10/2019).
Acara tersebut dibuka Wakil Dekan I Fakultas Bahasa dan Seni Undiksha, Dr. Dewa Putu Ramendra, S.Pd., M.Pd. Ia mengatakan perilaku pembelajar di era disrupsi ini sudah jauh berbeda dari era sebelumnya, sehingga harus direspon dengan baik dan harus meninggalkan gaya dan metode belajar yang lama. “Kalau kita bertahan dengan pembelajaran lama, akan masuk “museum”,” jelasnya.
Disampaikan lebih lanjut, di tengah era disrupsi, proses pembelajaran harus dikemas secara kreatif-inovatif. Misalnya, pada pembelajaran mata kuliah berbicara bahasa Bali bisa dilakukan dengan mendorong mahasiswa untuk menjadi MC pada kegiatan-kegiatan adat sebagai bentuk asesmennya. Selain itu, juga ada penerapan blended learning. “Perlu ada hal-hal kreatif dalam pembelajaran,” sebutnya.
Terkait dengan blended learning, sambungnya, pimpinan FBS sesungguhnya sudah dari sejak dulu mendorong, mendukung dan memfasilitasi dosen-dosen untuk mengembangkan model pembelajaran melalui pemberian dana-dana penelitian dan pelaksanaan workshop. Kebijakan tersebut juga merupakan bagian dari arah kebijakan Rektor Undiksha, sehingga akan terus untuk didorong, diperkuat dan disosialisasikan. Dengan ini, ke depan akan lebih banyak lagi dosen FBS yang siap melaksanakan model pembelajaran blended learning,” katanya.
Sementara itu, Prof. Sutrisna Wibawa mengatakan mahasiswa saat ini masuk sebagai generasi Z. Pola pikirnya cenderung serba instan. Selain itu, kehidupannya cenderung bergantung pada teknologi, mementingkan media sosial. Pada genrasi Alpha (kelahiran 2011-sekarang), juga hidup pada dunia dengan teknologi yang semakin berkembang pesat. “Di usia mereka yang sangat dini, sudah mengenal dan sudah berpengalaman dengan gadget, smartphone, dan kecanggihan teknologi yang ada,” katanya.
Kondisi yang demikian, menurutnya harus diimbangi dengan pola pembelajaran yang juga berbasis teknologi. Termasuk dalam bidang bahasa daerah. Blended learning dipandang tepat menjadi salah satu solusi yang bisa terus dikembangkan. “Blended learning, mengintegrasikan penggunaan teknologi dalam pembelajaran yang memungkinkan pembelajaran yang sesuai bagi masing-masing siswa dalam kelas dan memungkinkan terjadinya refleksi terhadap pembelajaran,” sebutnya. (hms)