Singaraja– Kaum milenial memiliki peran yang sangat strategis dalam menyukseskan pembangunan demokrasi di era modern saat ini. Perkembangan teknologi dan era disrupsi saat ini memungkinkan generasi penerus bangsa ini mengambil dan memerankan fungsinya sebagai pilar kebangsaan, terutama dengan cara aktif dan kreatif dalam memanfaatkan berbagai fasilitas teknologi dalam dunia politik. Demikian disampaikan Akademisi Undiksha, Prof. Dr. I Wayan Lasmawan, M.Pd saat menjadi narasumber dalam Seminar Nasional yang digelar Jurusan Hukum dan Kewarganegaraan Fakultas Hukum dan Ilmu Sosial (FHIS) Undiksha, Sabtu (5/10/2019). Seminar yang didibuka untuk umum ini juga menghadirkan narasumber anggota DPD RI Dr. Made Mangku Pastika, M.M dan Hakim Mahkamah Konstitusi Dr. I Dewa Gede Palguna, S.H.,M.Hum.
Lasmawan menjelaskan, kaum milenial bisa menjadi trigger bagi terbangunnya demokrasi yang berkualitas, manakala mereka mau dan terkelola dalam alam dan dimensinya oleh sistem serta instrumen-instrumen negara sebagai media demokrasi. Hal ini terbukti dari peran pemilih milenial pada Pemilu yang baru berlalu yang jumlahnya mendekati angka 40 persen dari total warga negara yang menggunakan hak pilihnya. Artinya terdapat hampir 70 juta pemilih milenial yang telah menggunakan hak kenegaraannya dalam pesta demokrasi besar itu. “Peningkatan angka partisipasi pemilih pada Pemilu kemarin yang hampir mencapai angka 81 persen membuktikan bahwa Indonesia adalah salah satu negara demokrasi besar yang tingkat konsolidasinya mengalami peningkatan tajam. Hal ini tidak terlepas dari peran pemilih muda. Untuk itu, di era teknologi saat ini, kalangan pemilih muda merupakan segmen yang harus dikelola sedemikian rupa, dengan memasuki dunia mereka manakala calon-calon peserta Pemilu ingin mendapatkan kepercayaan dari para pemilih ini,” jelasnya.
Disampaikan lebih lanjut, dengan engedepankan mediasi dan mengelola bakat politik serta masuknya teknologi dalam komunikasi politik, maka peningkatan literasi demokrasi kaum milenial harus terus dilakukan sehingga mampu memainkan perannya sebagai pemilih yang cakap media, tanggap, kreatif dan advokatif. “Jika ini bisa dilakukan, maka gerakan demokrasi itu adalah kita, melalui pemilu gotong royong, niscaya bisa direalisasikan,” tegasnya.
Menterjadikan demokrasi itu menjadi urusan kekitaan, kata akademisi yang juga Wakil Rektor Bidang Perencanaan dan SDM Undiksha ini, salah satunya harus ditunjang dari terselenggaranya Pemilu yang berkualitas yang minimal memenuhi lima syarat, yaitu membuka peluang yang bersifat kompetitif bagi setiap peserta secara luas, diselenggarakan secara berkala dengan rule of game yang menjamin kepastian, inklusif dengan menempatkan setiap warga negara sama dalam segala dimensinya, dilakukan oleh penyelenggara yang independen dan akuntabel, dan pelaksanaannya bersifat luber-jurdil.
Sistem kepartaian yang dianut dan terapkan di Indonesia selama ini juga dinilai masih belum menjamin terselenggaranya demokrasi yang benar dan sebenarnya. Pemilu sebagai fasilitas sirkulasi elit, baik antara elit yang satu dengan yang lainnya, maupun pergantian dari kelas elit yang lebih rendah ke kelas elit yang lebih tinggi belum terpola secara baik, karena partai politik lebih mengedepankan pembangunan partai massa yang memiliki ciri-ciri meningkatnya aktivitas hanya menjelang pemilu, menganut sistem keanggotaan yang amat longgar, belum memiliki sistem seleksi dan rekrutmen keanggotaan yang memadai serta belum mengembangkan sistem pengkaderan dan kepemimpinan politik yang kuat. “Untuk itu maka diperlukan sebuah terobosan dalam mekanika pembangunan system partai pada tataran sufra struktur, sehingga akan menguatkan parta politik tersebut pada tataran akar rumput, tingkat pusat, dan di pemerintahan,” mantan aktivis mahasiswa UNUD tahun 1991 ini.
Jika hal itu bisa dilakukan, pelembagaan partai politik akan semakin baik dan secara langsung berpengaruh terhadap kualitas makna demokrasi itu sendiri. Ditambahkan oleh akademisi yang mantan konsultan politik ini, pelembagan partai partai bisa dilakukan melalui penguatan empat komponen kunci, yakni party rooting, party legitimacy, rule and regulation, dan competitiveness party.
Di dalam studi politik, pemilihan umum dapat dikatakan sebagai sebuah aktivitas politik dimana pemilihan umum merupakan lembaga sekaligus juga praktis politik yang memungkinkan terbentuknya pemerintahan yang kuat, karena pemilu telah memenuhi kewajibannya yaitu melahirkan orang-orang terpilih dan terbaik yang akan mepresentasikan keterwakilan rakyat secara powerfull. Hal ini berkaitan dengan makna yang dilekatkan pada pemilu itu sendiri sebagai sebuah potret ideal dan maksimal bagi suatu pemerintahan demokrasi di zaman modern. “Pemilu dalam konstelasinya sebagai pengejawantahan demokrasi, mempunyai beberapa fungsi, yaitu sebagai sarana legitimasi politik, melalui Pemilu pemerintah dapat mempengaruhi perilaku rakyat, sebagai fasilitator terbangunnya kontrak politik rakyat dengan pemerintahnya, serta sebagai ajang penilaian rakyat terhadap penguasa yang mereka percayai selama lima tahun yang telah berlalu,” katanya.
Dalam pandangan akademisi asal Desa Bonyoh, Kintamani, Bangli ini, konsolidasi demokrasi tidak cukup hanya dengan Pemilu yang dilakukan secara prosedural, melainkan lebih ditentukan oleh seberapa melembaganya komitmen demokrasi pada partai-partai dan dewan perwakilan yang dihasilkannya. “Untuk itu, kualitas Pemilu sangat ditentukan oleh seberapa besar partisipasi rakyat dalam pemilu itu sendiri, serta seberapa mampu rakyat sebagai pemilik kedaulatan dapat mengawasi penyelenggaraan pemilu itu sendiri,” ucapnya.
Bila hal itu mampu dilakukan, maka minimal akan memastikan terjaminnya hak-hak konstitusi warga negara dalam hal memastikan terlindunginya hak politik warga masyarakat, memastikan terwujudnya pemilu yang bersih, transparan, dan berintegritas, mendorong terwujudnya pemilu sebagai instrumen penentuan kepemimpinan politik dan evaluasi kepemimpinan politik, mendorong munculnya kepemimpinan politik yang sesuai dengan aspirasi terbesar rakyat, dan terakhir terwadahinya aspirasi rakyat secara utuh dan komprehensif.
Kedepan, dalam rangka membangun demokrasi yang mampu menjamin parameter kedirian rakyat sebagai pemilik kedaulatan, Lasmawan yang juga adalah Ketua Forum Wakil Rektor bidang SDM PTN se-Indonesia ini, menegaskan perlunya dilakukan penyederhanaan sistim kepartaian dan menekan cost politik yang harus dihabiskan di setiap hajatan pemilu. Disisi lain, untuk meningkatkan kualitas pemilu itu sendiri, maka penting dilakukan gerakan Pemilu dalam semangat gotong royong. “Sehingga setiap warga negara merasa dan menjadikan Pemilu itu adalah diri mereka sendiri, sehingga tidak semata-mata mengandalkan sistim dan regulasi yang bersifat prosedural-mekanistis semata,” pungkasnya. (rls)