Kearifan lokal adalah warisan budaya yang berharga yang harus dilestarikan dan dikembangkan sesuai dengan tuntutan zaman. Kearifan lokal berwujud pengetahuan, nilai, dan praktik yang dikembangkan oleh masyarakat lokal selama berabad-abad untuk beradaptasi dan hidup selaras dengan lingkungannya yang terus berubah. Wujud kearifan tersebut merupakan hasil dari interaksi yang panjang antara manusia dengan alam dan budayanya yang diwariskan secara turun-temurun melalui tradisi seperti cerira rakyat dan ritual.
Kearifan lokal yang dikaitkan dengan politik identitas budaya lokal menjadi salah satu topik dalam Kuliah Umum Eurasia Foundation yang berkolaborasi dengan program studi Pendidikan Sosiologi Universitas Pendidikan Ganesha (Undiksha), Senin (25/3/2024). Topik ini dibawakan oleh Guru Besar Antropologi Universitas Gadjah Mada Prof. Dr. Irwan Abdullah yang bertajuk “Politics of Identity and Local Wisdom”.
Kearifan ini perlu dilindungi dan dikomunikasikan kepada khalayak luas. Konteks perubahan yang terjadi saat ini memaksa kita untuk terus melihat, terus memperhatikan bagaimana kearifan lokal itu bisa bertahan karena kearifan lokal tersebut juga bisa membantu menyelesaikan masalah-masalah kontemporer, perubahan iklim, degradasi lingkungan, bahkan sampai krisis pangan.
Prof. Irwan menerangkan kearifan lokal sebagai suatu mekanisme kultural yang sangat penting untuk menjamin kemaslahatan hidup manusia dan untuk menjamin kesejahteraan orang. Ketika kearifan lokal ditinggalkan, tergerus dengan pengetahuan-pengetahuan lainnya, bisa juga karena narasi budayanya tidak tersedia, tidak diceritakan pada generasi selanjutnya sehingga terjadilah ketidakselarasan hubungan manusia dengan alam. Oleh karena itu, ada beberapa alasan pentingnya mempelajari kearifan lokal dalam era disrupsi teknologi seperti saat ini. Pertama, kearifan lokal dapat membantu menyelesaikan masalah-masalah kontemporer seperti perubahan iklim, degradasi lingkungan, dan krisis pangan. Kedua, kearifan lokal juga dapat menjadi sumber pengetahuan dan pembelajaran bagi generasi muda. Ketiga, kearifan lokal juga dapat memperkuat identitas budaya dan komunitas lokal.
Lebih lanjut dijelaskan, kearifan lokal terbagi menjadi 3 dimensi, yaitu pengetahuan lokal (pengetahuan obat-obatan, pengetahuan alam, pengetahuan teknologi tradisional), nilai-nilai lokal (kearifan ekologis, menghormati alam, menjaga kelestariannya, kebersamaan, saling membantu, bekerjasama menyelesaikan masalah yang bisa melahirkan jaminan sosial di masyarakat, musyawarah, religius atau kepercayaan, kejujuran, kesopanan, dan rasa hormat), dan praktik sosial lokal (upacara adat dan ritual, gotong royong, sistem kekerabatan, pengobatan tradisional, dan kesenian tradisional). Tiga dimensi tersebut memuat banyak sekali prinsip dalam kehidupan manusia yang menjamim keselamatan yang di dalamnya meliputi kesejahteraan, kebaikan, harmoni. “Jadi kata harmoni jangan direduksi antar hubungan manusia dengan manusia, tapi juga dengan keseluruhan sistem tatanan sosial,” terangnya.
Ia juga menjelaskan, ada 10 wujud kearifan lokal, diantaranya adalah pengobatan tradisional, pertanian adat, tradisi lisan, kerajinan tradisional, pengetahuan adat, ritual masyarakat, tata kelola masyarakat adat, etnobotani, ketahanan masyarakat, dan situs keramat. Dari kearifan lokal tersebut, muncul satu fenomena tentang politik identitas yang mengacu pada strategi politik, memobilisasi dukungan dan membangun kekuasaan berdasarkan identitas sosial, seperti etnis (budaya), agama, kelas (ras), gender, dan identitas sosial, disabilitas, dan lain sebagainya.
Politik identitas budaya lokal menjadi salah satu strategi politik, memobilisasi dukungan berdasarkan identitas kearifan lokalnya. Ada masalah saat ini bahwa kearifan lokal tidak hanya dipraktekkan di dalam masyarakat sebagai kebudayaan, tapi direproduksi bagi kepentingan-kepentingan budaya. Reproduksi kebudayaan lokal itu maksudnya adalah pemanfaatan kearifan lokal untuk tujuan-tujuan di luar kebudayaan, khususnya untuk tujuan politik.
Ada tiga proses berlangsung dalam politisasi budaya lokal. Pertama, mobilisasi budaya lokal: politik identitas budaya lokal menggunakan budaya lokal untuk mobilisasi dukungan politik. Kedua, kesadaran budaya lokal: politik identitas budaya lokal meningkatkan kesadaran dan solidaritas di antara masyarakat dengan budaya lokal yang sama. Ketiga, perjuangan budaya lokal: politik identidas budaya lokal yang memperjuangkan kepentingan dan hak-hak budaya lokal.
Politik identitas kearifan lokal ini dipengaruhi oleh faktor internal dan eksternal. Faktor internal meliputi identitas dan nasionalisme, kontestasi kekuasaan, dan ketidakadulan dan marginalisasi. Sedangkan faktor eksternal meliputi globalisasi dan neolberalisme, intervensi asing, dan media masa.
Politisasi budaya lokal juga mendatangkan dampak positif dan negatif. Dampak positifnya dapat memperkuat identitas dan solidaristas masyarakat lokal, melestarikan budaya lokal dan memperjuangkan hak-hak masyarakat adat, dan meningkatkan partisipaai politik masyarakat. Sedangkan dampak negatifnya dapat memicu konflik dan polarisasi antar kelompok, digunakan untuk memanipulasi dan mengeksploitasj masyarakat, dan memperkuat stereotip dan diskriminasi.
Solusi bagi keberadaan kearifan lokal tersebut bisa dilakukan dengan tiga jalan, yaitu kesadaran masyarakat melalui pendidikan, media masa, dan kampanye publik, melalui dialog dan kerjasama melalui fasilitasi dialog antar berkelompok, promosi kerjasama antar kelompok, serta melalui kebijakan yang adil dan bekelanjutan dengan cara melindungj hak-hak semua kelompok masyarakat, mendorong partisipasi semua kelompok masyarakat, dan mendukung pembangunan yang berkelanjutan. (hms)