Singaraja- Gender tidak pernah lepas dari kontruksi sosial budaya dan menjadi salah satu dari kearifan lokal. Secara umum, gender mengacu pada laki-laki dan perempuan. Di dalam masyarakat, laki-laki dimaknai dengan maskulin dan atribut lainnya seperti jantan, rasional, tangguh, bertanggung jawab, dan lain-lain. Sedangkan perempuan dalam tafsiran feminim dengan atribut sosial lemah lembut, emosional, cerewet, tukang menangis, dan lain-lain.
Perbedaan peran yang dimiliki antara laki-laki dan perempuan sampai saat ini masih menjadi topik yang menarik untuk diperbincangkan. Dan ini diperbincangkan secara khusus dalam Kuliah Umum dengan tema Asia Ethnoscience and Local Wisdom yang diselenggatakan oleh Universitas Pendidikan Ganesha (Undiksha) melalui Program Studi Pendidikan Sosiologi yang berkolaborasi dengan Eurasia Foundation, Senin (19/2/2024).
Kuliah umum ini mengangkat topik “Gender dan Kearifan Lokal di Asia” yang dibawakan oleh Dr. Harmona Daulay, S.Sos., M.Si. dari Universitas Sumatera Utara. Paparan diawali dengan lingkungan yang mengenalkan gender adalah keluarga. Sedangkan kelompok kedua adalah komunitas. Gender dan seks seringkali disamakan, padahal memiliki arti yang berbeda. Gender berbicara tentang sosial budaya, merujuk pada tanggung jawab dan peran, serta bisa diubah dan berubah sesuai lokasi dan zaman. Sedangkan seks bersifat alamiah, biologis, dan bersifat tetap (tidak bisa berubah).
Laki-laki dan perempuan memang berbeda, tetapi bukan berarti dibeda-bedakan. Laki-laki dan perempuan saat ini sudah memiliki hak dan kesempatan yang sama di lingkungan sosial. Praktik kesetaraan gender ini harus melibatkan banyak pihak sehingga dapat terwujud kemajuan sosial, ekonomi, budaya, dan politik.
Banyak negara di kawasan Asia sampai saat ini masih menghadapi berbagai tantangan yang rumit untuk memperjuangkan kesetaraan gender. Hal tersebut terjadi karena norma dan patriarki yang masih kuat di masyarakat. Harmona menyebutkan, kaum feminis berpendapat isu gender ini terjadi karena lingkungan nilai partriarki ada dominasi, senioritas, laki-laki dianggap lebih berbudaya, perempuan lebih dekat dengan alam, laki-laki sebagai pemilik dan perempuan perawat, dan laki-laki menjadi tolak ukur universal.
Dalam kearifan lokal, perempuan memiliki peran yang signifikan dalam memelihara lingkungan hidup dan berkontribusi terhadap masyarakat melalui berbagai usaha dan cara, terutama melalui kepeduliannya terhadap anak-anak dan keluarga. Salah satu aspek kritis dalam peran perempuan pada kearifan lokal adalah sebagai perekam sejarah oral dan pemelihara tradisi lisan. Upaya untuk memperjuangkan kesetaraan gender juga dapat dilihat dari berbagai gerakan yang dilakukan perempuan dalam kearifan lokal di Asia, salah satunya adalah Gerakan Chipko di India tepatnya di wilayah Rajasthan. Perempuan memainkan peranan kunci dalam menjaga dan meneruskan tradisi musik dan tarian klasik. Negara lainnya adalah jepang yang seringkali melibatkan perempuan dalam seni dan kerajinan tradisional. Sedangkan di Indonesia sendiri, gerakan perempuan dalam kearifan lokal dapat dilihat dari banyaknya suku di Indonesia yang memiliki perempuan sebagai pemegang tradisi dalam seni, contohnya seni tenun.
Gerakan feminis mendorong isu gender yang juga menjadi ideologi sekaligus gerakan advokasi untuk kesadaran dan keadilan gender di semua aspek kehidupan. Feminis ingin menghilangkan sexism, eksploitasi, dan tekanan. Lebih lanjut Harmoni menyampaikan berdasarkan survei yang dilakukan Bank Dunia dilansir dari Alinea.id 2019, hanya ada 6 negara yang berhasil memiliki kesetaraan gender secara sempurna, yaitu Belgia, Denmark, Prancis, Latvia, Luksemburg, dan Swedia. Oleh karena itu, kesetaraan gender menjadi upaya yang penting untuk mencapai keadilan dan kesetaraan dalam masyarakat. Melalui gerakan feminisme dan advokasi untuk kesetaraan gender diharapkan akan tercipta dunia yang lebih adil dan inklusif, yaitu perempuan dan laki-laki memiliki hak, kesempatan, dan perlakuan yang sama tanpa adanya diskriminasi berdasarkan jenis kelamin. (hms)