Tabanan- Waktu beranjak pagi. Sinar matahari mulai nampak, melawan mendung tebal di ufuk timur. Kabut tipis menyertai menyelimuti alam. Bergerak lamban terhempas angin semilir. Memantik rasa dingin, menyusup kulit. Suasana alam itulah yang bersahabat dengan puluhan anak-anak Desa Batungsel, Kecamatan Pupuan, Tabanan. Alam yang damai melahirkan keheningan. Anak-anak itu berbagai usia. Duduk bersama di lantai sebuah bangunan sederhana. Berdinding bata merah, tanpa polesan plamir, apalagi cat. Beratap genteng, dengan rusuk kayu gempinis. Bangunan itu layaknya balai masyarakat. Berisikan dapur, dikelilingi alam yang hijau.
Anak-anak desa itu berkumpul bukan untuk bercanda. Apalagi bermain gadget, ala anak-anak kebanyakan di era kini. Mereka membuka tas, mengambil buku dan menaruhnya di pangkuan. Ada pula langsung di lantai beralaskan tikar plastik. Melihat setiap halaman buku berbagai jenis dengan variasi gambar sebagai pemanis. Tulisannya dibaca, kemudian dilanjutkan dengan mencatat.
Mereka bukanlah membuat pekerjaan rumah yang menjadi bekal dari sekolah. Tetapi menumbuhkan budaya literasi, tergabung dalam Komunitas Desa Belajar Bali. Kesan hangat dan antusias terpancar binar dari wajah anak-anak sebagai generasi penerus bangsa ini. Terlihat sangat menikmati dalam balutan kebersamaan. Sikap saling membimbing menjadi pemandangan yang tidak asing dari aktivitas itu.
Apa yang tercatat pada bukunya tidak disimpan begitu saja. Mereka mendapat ruang untuk membagi berbagai pengetahuan dengan tampil di depan. Ada tentang zaman prasejarah dan sejarah, tentang air terjun, hingga tentang cara menanam tomat. Materi itu memang sederhana dan mudah. Tetapi bukan itu yang menjadi fokus utama. Tetapi bagaimana anak-anak ini bisa mengasah kreatifitas, mengulas kembali hal yang disampaikan, mengembangkan sehingga materinya menjadi lebih lengkap. Dari ini pula mereka diajak untuk memahami sesuatu dengan terkonsep. Contohnya soal arti dari air terjun. Pemahamannya tidak hanya sebatas air yang terjun. Tetapi bisa berpikir lebih luas tentang aliran air tegak lurus dari ketinggian ke tempat yang lebih rendah. Di luar itu tentu masih banyak contohnya.
Komunitas literasi masyarakat ini didirikan oleh dosen Universitas Pendidikan Ganesha (Undiksha), Dr. I Wayan Artika, S.Pd.,M.Hum. Ia merupakan warga asli Desa Batungsel. Ditengah kesibukannya selalu menyempatkan diri untuk mendampingi aktivitas anak-anak itu. “Literasi ini berjalan setiap hari Minggu. Mulai dari pagi sampai siang,” ujarnya saat ditemui, Minggu (5/1/2020).
Sembari duduk di kursi, melalui perbincangan santai ia mengulas kembali perjalanannya merintis komunitas ini. Berawal dari tahun 2008 yang dilatarbelakangi masih kurangnya minat baca masyarakat. Diakui, perlu waktu yang cukup lama untuk menarik kepercayaan masyarakat terhadap program yang juga digalakkan pemerintah ini. Perlahan tapi pasti, ditambah kesabaran, upayanya membuahkan hasil. Dari tahun 2017, mulai berjalan efektif dengan jumlah peserta yang terlibat konsisten diangka puluhan orang. “Anak-anak ini ada dari tiga SD di desa. Ada juga anak-anak SMP dan guru yang membantu,” jelasnya.
Kemunculan gerakan ini berawal dari bawah. Itu yang menjadi cikal bakal munculnya nama program gerakan litetasi akar rumput. Filosofi rumput, menurutnya tumbuh di bawah, tetapi bisa menyebar luas. “Dari nama ini, kami ingin program ini bisa bermanfaat untuk masyarakat luas,” ucap akademisi Prodi Pendidikan Bahasa Indonesia ini.
Selain literasi, anak-anak juga diajak memahami numerasi. Salah satu caranya, mereka yang terbagi dalam beberapa kelompok diminta untuk membuat tabel yang berisikan nama, keterangan berat badan, tinggi badan dan tahun lahir. Setelah selesai, itu dijabarkan dalam bentuk tulisan maupun secara lisan. “Disini data yang ditulis dalam bentuk tabel akan diulas. Selain itu juga bisa menemukan tahun lebih kecil bisa bermakna lebih tua jika dikaitkan dengan umur. Ini salah satu penalaran dalam numerasi,” ulasnya.
Keikutsertaan anak-anak dalam program ini tidak terbebani biaya. Artika pun tidak pernah menuntut untuk itu. Keinginannya hanya satu. Melalui program yang dirintis kelak bisa melahirkan generasi andal dan cerdas melalui literasi. “Saya juga meyakini program ini tidak langsung melahirkan hasil sekarang. Tetapi bisa beberapa tahun lagi. Setidaknya saya sudah melakukan upaya untuk menjawab persoalan di masyarakat,” tegasnya. Sebagai seorang akademisi, program inspiratif ini dijadikan pula sebagai implemntasi Tri Dharma Perguruan Tinggi dalam bidang pendidikan dan pengajaran maupun pengabdian kepada masyarakat. Apa yang dilahirkan ini memantik perhatian dari sejumlah pihak, seperti Balai Bahasa Bali, sekolah maupun komunitas literasi dari daerah lain. “Untuk buku kami juga ada mendapat sumbangan,” pungkasnya. (hms)