Membaca, menulis, dan mengeja kerap dijadikan untuk mengukur kemampuan belajar pada anak. Bahkan kemampuan tersebut kini menjadi hal yang wajib untuk dimiliki ketika baru menginjak ke sekolah dasar. Namun, tidak sedikit pula anak-anak yang mengalami kesulitan membaca, menulis, dan mengeja yang disebabkan gangguan belajar spesifik “disleksia”.
Anak dengan disleksia sejatinya bukan anak yang kurang cerdas, melainkan banyak memiliki potensi besar dalam kreativitas, logika, dan imajinasi. Akan tetapi, masih banyak yang memberikan “lebel negatif” terhadap anak yang demikian. Anak-anak tersebut dinilai memiliki kemampuan akademik yang kurang. Fenomena ini tentunya dapat berdampak negatif untuk perkembangan anak.
Akademisi Universitas Pendidikan Ganesha (Undiksha), I Ketut Trika Adi Ana, S.Pd.,M.Pd memberikan perhatian terhadap fenomena tersebut dan melakukan langkah-langkah solutif atau penanganan sehingga stigma negatif terhadap anak-anak dengan disleksia dapat berkurang. Dosen Fakultas Bahasa dan Seni ini membuat sebuah inovasi bacaan ramah disleksia. “Permasalahan utama dari anak disleksia biasanya adalah lebel negatif. Saya tidak ingin anak-anak itu merasa rendah diri, sehingga saya menciptakan bahan bacaan yang ramah,” jelasnya, Rabu (9/4/2025).
Inovasi ini mengembangkan cerita sederhana yang ditulis dengan font OpenDyslexic yang telah dimodifikasi melalui variasi warna, bentuk, dan ukuran huruf, serta aktivitas multisensori. Inovasi tersebut terbukti membantu anak-anak dengan disleksia visual dalam membedakan huruf yang mirip dan meningkatkan kelancaran membaca.
Melahirkan inovasi ini perlu proses panjang dengan melalui lima kali proses penyempurnaan sampai menemukan format yang tepat. Karya yang terlahir dari pemikiran edukatif ini telah didesiminasikan, salah satunya melalui konferensi internasional yang digelar oleh University of Sydney, Australia pada 29 Maret 2025.
Trika, sapaan akrab dosen muda ini lebih lanjut menjelaskan ada berbagai keunggulan lain dari bahan bacaan ramah disleksia yang dikembangkan. Diantaranya, menyisipkan aktivitas lain (mewarnai dan menggambar sesuai teks yang dibaca) karena anak disleksia adalah anak yang kreatif dan teks yang disediakan dalam bentuk cerita bergambar (karena anak disleksia kreatif dan imajinatif). Selain itu, untuk membantu anak-anak mengingat bentuk dan bunyi huruf sehingga mampu membangun kepercayaan dirinya, teks dalam satu halaman dibatasi hanya 2-3 kalimat dengan menggunakan kata-kata yang direpetisi. “Juga dilengkapi dengan alat penunjuk untuk membantu siswa lebih fokus. Dengan menunjuk huruf yang dibaca, anak menjadi lebih fokus dan terhindar dari ganguan yang membuat anak disleksia sering melihat huruf yang dibaca bergerak,” jelasnya lebih lanjut.
Bahan bacaan ini juga menggunakan variasi ukuran font untuk menekankan perbedaan huruf tertentu seperti huruf B dan D dari sisi ukuran. Selain itu, juga dilengkapi dengan audio sebagai contoh pelafalan apabila mereka membaca tanpa didampingi. “Jika orangtua atau guru menemani anak membaca, bahan bacaan ini juga dilengkapi dengan penjelasan,” kata Trika. Inovasi ini akan terus dikembangkan melalui proses penelitian lanjut untuk diimplementasikan di sekolah-sekolah dengan kasus atau indikasi ada anak yang mengalami disleksia. (hms)