Kampus mengajar adalah satu program dari program Kampus Merdeka yang digulirkan oleh Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dam Teknologi (Kemendikbudristek). Program ini untuk memberikan kesempatan kepada mahasiswa untuk belajar, mengembangkan kompetensi diri, mengasah jiwa kepemimpinan, soft skill, dan karakter. Pada program ini, pengalaman mengajar mahasiswa dapat diakui dan disetarakan dengan 20 SKS.
Kesempatan untuk mengikuti program nasional ini tidak hanya dibuka bagi para mahasiswa, tetapi juga para dosen. Salah satunya, Ida Ayu Purnama Bestari, S.Pd., M.Sc, dosen Program Studi Pendidikan Biologi Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Pendidikan Ganesha (Undiksha), Singaraja, Bali.
Dosen asal Kabupaten Karangasem, Bali ini mengikuti program kampus mengajar 4 dan sebagai dosen pembimbing. Baginya, program ini adalah sesuatu yang baru. Keinginannya untuk turut berpartisipasi bukan semata-mata hanya ingin berbagi pengetahuan layaknya dengan mahasiswa yang menjadi aktivitas kesehariannya. Lebih dari itu, ingin mendapatkan pengalaman yang lebih mendalam dan semakin ingin mengetahui dinamika pendidikan di Indonesia.
Tahapan pendaftaran ia lalui. Di awal, ia berkeinginan untuk bisa menjadi dosen pembimbing bagi mahasiswa yang melaksanakan kampus mengajar di Bali. Akan tetapi ceritanya berbeda. Dosen yang sudah mengabdi di Undiksha sejak tahun 2015 ini justru mendapat tugas di Selong, Lombok Timur, tepatnya di SDN 6 Masbagik Utara. Sekolah yang benar-benar asing di telinganya.
Rupanya, jarak yang sangat jauh dari tempat tinggalnya di Kota Singaraja tidak menyurutkan langkahnya untuk mewujudkan perubahan di sekolah tersebut. Semangatnya tidak melemah, melainkan semakin termotivasi dan tertantang. Rasa ingin tahunya terhadap kehidupan sekolah itu pun semakin memuncak. Tugas barunya ini dijalani dengan sepenuh hati sampai akhirnya ia beranjak menyambangi Pulau Lombok seorang diri.
Pada 27 Juli 2022, ketika menuju ke Pulau Sasak itu, ia tempuh melalui jalur darat dari Kota Singaraja sampai ke Pelabuhan Padangbai, Karangasem sekitar 3 jam dengan sepeda motor seorang diri. Perjalanannya ke Lombok kemudian dilanjutkan dengan kapal laut dengan waktu tempuh sekitar empat jam. “Dari pelabuhan di Lombok, saya lanjut lagi perjalanan menuju sekolah. Waktunya cukup lama,” tuturnya, 15 September 2022.
Setibanya di SDN 6 Masbagik Utara, ia menemukan realitas yang cukup berbeda. Di sekolah ini, masih ada siswa kelas V yang belum mampu membaca. Selain itu, juga terdapat sejumlah siswa yang berkebutuhan khusus. Persoalan tersebut menjadi tantangan ketercapaian hasil ketuntasan minimal siswa maupun ujian nasional.
Realitas ini bukan menyurutkan langkah Dayu Bestari, sapaan akrabnya untuk melaksanakan program, melainkan membuatnya semakin termotivasi untuk mewujudkan sebuah perubahan. Bersama tiga mahasiswa dari Universitas Gunung Rinjani dan tiga mahasiswa dari Universitas Hamzanwadi yang juga mengikuti program kampus mengajar digagas program literasi dan numerasi.
Pelaksanaan program ini tidak langsung berjalan mulus. Karakteristik siswa yang beragam membuatnya menghadapi tantangan. “Di minggu awal, saat siswa diberikan PR, bisa satu kelas tidak buat, saat mahasiswa masuk kelas, mereka memberikan penggaris kayu dan menawarkan dirinya untuk dipukul” katanya. Latihan berkelanjutan, didukung dengan motivasi terus diberikan kepada siswa. Selain itu ia juga melakukan inovasi dalam pembelajaran dengan memanfaatkan media pembelajaran khusus masing – masing kelas maupun video interaktif karena sekolah sebenarnya difasilitasi wifi dan laptop hanya jarang sekali dimanfaatkan untuk siswa. “Misalnya untuk literasi, kami tayangkan video, kemudian siswa mencerna dan menceritakan kembali, tidak hanya untuk teman di sekolah namun anggota keluarga” terangnya.
Sekolah ini, sambungnya juga tidak memiliki perpustakaan. Ia bersama mahasiswa menggagas program taman baca. Buku digalangnya melalui donasi yang dipublikasikan di media sosial. Sekitar dua bulan berjalan, programnya membuahkan hasil positif. Kemampuan literasi dan numerasi siswa semakin baik. “Kami juga siapkan soal-soal latihan yang nantinya bisa dijadikan sebagai bank soal oleh para guru. Berdasarkan laporan dari mahasiswa dan guru, kemampuan siswa sudah ada kemajuan,” sebut Dayu Bestari.
Ia menegaskan, melalui program kampus mengajar, yang penting tidak hanya soal transfer knowlage. Lebih mendasar dari itu adalah untuk membiasakan sesuatu yang tidak biasa bagi siswa untuk menjadi kebiasaan sehingga menghasilkan perubahan besar. “Contoh kecilnya adalah nilai AKM yang rendah karena siswa belum terbiasa mengerjakan soal – soal model tersebut, sehingga setiap hari selama 30 menit kami biasakan memberikan soal model tersebut atau adik – adik yang belum bisa membaca kami biasakan setiap hari belajar membaca selama 30 menit. Ini terlihat sebagai sesuatu yang kecil, tetapi memberikan perubahan besar, selama dua bulan ini sudah banyak kemajuan,” tegasnya.
Selain pada pengembangan kemampuan siswa, program kampus mengajar ini juga memberikannya pemahaman bahwa seorang guru tidak hanya cukup berbekal kemampuan sesuai bidang studi, tetapi juga perlu menguasai hal lain, seperti kemampuan mengajar untuk anak-anak berkebutuhan khusus atau tips dan trick menhadapi siswa yang “hiperaktuf”. “Sekolah ini memberikan bukti, siswa ada yang berkebutuhan khusus atau inklusi. Ini menandakan seorang guru perlu diberikan tambahan pengetahuan tentang pendidikan siswa berkebutuhan khusus,” imbuhnya.
Kisah inspiratifnya ini kelak akan dibagikan kepada mahasiswanya di dalam kelas. Cerita itu bukan hanya angin lalu, tetapi diharapkan mampu menjadi motivasi untuk turut memberikan kontribusi dalam meningkatkan kualitas pendidikan Indonesia. (hms)